Senin, 08 Juni 2009

jangan pergi ke kota

pasir putihmu terhampar menggoda hati
nyiur berdansa terhembus angin
seperti apa surga jika di sini segarkan jiwa

asal jangan kau pergi ke kota

hijau di sini tak mungkin terlupa
senyuman konde pun begitu lepas
seperti apa surga jika di sini begitu ceria

asal jangan kau pergi ke kota

hajar

berhentilah menangis
tangisanmu buat aku merinding

jika lapar diamlah
baru itu yang kita bisa

jika kau susah, sudahlah
jika memang harus begitu

simpan dulu pedang mu itu
sarungkan rencongmu, keris mu, klewang, clurit
bukan senjata itu yang kita butuhkan sekarang

jika nanti tiba
kita brangus mereka semua

suratku

senyuman khas itu kembali terlihat
saat anak durhaka ini pulang ke rumah
saat kembali jumpa di sana

Kau telah jalani puluhan tahun terberatmu
Lebih dari sekedar usiaku Ibu
Lebih dari apapun yang aku alami

bergembiralah
tak usah kau bebani dirimu lagi
dengan diriku atau lainnya

senang adalah saat mu sekarang
bergembiralah maka aku pun bahagia

suratku

berisik bantalan rel masih terdengar keras di pemukiman itu
bergemuruh memekakkan telinga muka-muka penghuninya

keruh air masih menjadi sumber kehidupan di pelosok negeri
bagi lambung-lambung yang kian terkontaminasi olehnya

asap hitam masih menyesakkan dada
bagi insan-insan yang menjadi penghuninya

Jangan kau salahkan Tuhan saudara
Jangan kau salahkan nasib saudara
Pun jangan kau dustai hatimu saudara...

betapa engkau mengerti kerasnya negeri mimpi ini
betapa kau tertipu berulang kali olehnya
betapa sedih hati, melihat buah hati mati karenanya

jangan pula kau lemah karenanya
jangan pula kau sedih karenanya
jangan sampai saudara...

itulah tugas kita sebagai manusia
berperanlah...
peran kita sangat dibutuhkan saudara..